Judul
tulisan ini bukan dibuat untuk sekedar menakut-nakuti, bukan pula sekedar
analisa tidak berdasar, kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri PAN RB tentang
larangan PNS meeting di hotel tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja,
seperti yang diungkapkan bahwa negara bisa berhemat, padahal kebijakan tersebut
berdampak negatif kepada pembangunan perekenomian Indonesia di sektor lainnya,
sektor pariwisata , sektor industri kreatif, sektor perdagangan dan tentunya
ketenagakerjaan.
Dalih
“ penghematan “ yang diargumentasikan apakah bisa senilai dengan peningkatan
kesejahteraan ekonomi masyarakat di sektor lain tersebut yang terancam untuk
mati suri.
Dalam
kesempatan ini penulis mencoba melakukan riset
singkat tentang apa kira – kira efek domino yang bakal terjadi terhadap
dikeluarkannya surat edaran larangan meeting di hotel tersebut :
Tahukah
anda berapa jumlah hotel berbintang di seluruh Indonesia ?
Menurut
Data BPS 2014, jumlah hotel berbintang
di 33 propinsi di Indonesia ada sebanyak 1996 buah, dengan jumlah tamu perhari
yang menginap di seluruh hotel tersebut mencapai 133.989 tamu .
Artinya,
jika kita mengasumsikan rata-rata harga jual kamar hotel berbintang tersebut
adalah Rp. 400.000 / malam , dan rata-rata menginap tamu adalah 2 malam , maka
akan ditemukan pendapatan total hotel berbintang di seluruh Indonesia ini dari
angka sewa kamar saja mencapai :
133.989
( tamu /hari ) x Rp. 400.000 ( sewa kamar ) x 2 malam ( Rata-Rata hari menginap )x 30 hari ( jumlah hari dalam 1 bulan) x 12 bulan ( jumlah bulan dalam 1 tahun )
= 38.588.832.000.000 = lebih kurang 38.6
T / tahun .
apabila
mengutip apa yang dikemukakan oleh wakil ketua PHRI saudara Hariyadi dalam RDPU
bersama komisi X DPR RI, larangan rapat di hotel akan memukul pendapatan
perhotelan hingga 50 % bahkan lebih,
artinya ini akan berdampak sangat signifikan terhadap keberlangsungan banyak
hotel bintang di seluruh Indonesia. Jadi apabila penurunan pendapatan yang 50%
ini kita kalikan Rp. 38.6 T maka akan
diprediksi pendapatan hotel berbintang
dari sewa kamar saja akan menurun menjadi 19.3 T , dan penurunan ini tentunya akan
berdampak pula terhadap penerimaan
negara dari sektor pajak hotel pertahunnya.
Penurunan
pendapatan ini tidak berhenti disitu saja, tapi berlanjut pada efek domino yang
tidak kalah mengjkhawatirkan, banyak hotel yang sudah mulai merumahkan pegawainya,
banyak industri kreatif di daerah-daerah obyek wisatapun menurun drastis
pendapatannya, seperti yang kita tahu bersama industri pariwisata adalah
industri yang berhubungan dengan banyak sektor bisnis lainnya yang melekat erat
dengan kesejahteraan masyarakat.
Tahukah
anda berapa banyak tenaga kerja di Indonesia ini yang mampu diserap di sektor pariwisata, ataupun sektor-sektor
lainnya yang berkaitan langsung dengan sektor pariwisata?
Menurut
data BPS 2014 disebutkan mencapai 24.829.734 jiwa, artinya terancamnya
kelangsungan operasional banyak hotel berbintang di Indonesia akan mengancam
pula kelangsungan hidup dari 24.8 juta penduduk Indonesia yang mengharapkan
periuk nasi mereka dari sektor industri pariwisata.
Tidak
bisa dipungkiri memang benar, hotel-hotel berbintang di Indonesia bergantung
sebagian besar pendapatannya kepada MICE event yang berlangsung di hotelnya,
dan meeting yang dilakukan oleh instansi
pemerintahan mengambil porsi hampir 40% dari total pendapatan tersebut.
Kita
semua bersepakat bahwa negara harus melakukan penghematan dalam menjalankan operasionalnya,
tapi dengan beredarnya surat edaran dari kementerian PAN RB ini “ penghematan “
yang di dengungkan justru kontra produktif dengan pembangunan ekonomi di sektor
lain yang juga secara langsung berdampak terhadap kesejahteraan rakyat.
Mari
bersama kita belajar dari Dubai, bagaimana negara bagian Uni Emirates Arab ini
mampu melepaskan diri dari ketergantungannya kepada minyak bumi, dan kemudian
beralih ke sektor pariwisata dimana hampir 80 % pendapatan negaranya berasal dari sektor ini,
karena mereka sadar disaat industri pariwisata maju akan berdampak pada sektor
lainnya dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan Dubai telah membuktikan
itu.
Esensi
tulisan ini ingin mencoba memberikan pertimbangan-pertimbangan bagi para
pemegang kebijakan di negeri ini untuk bisa memahami bahwa surat edaran menteri
PAN RB tentang larangan meeting bagi PNS dikeluarkan diwaktu yang tidak tepat,
disaat Indonesia tengah membangun kekuatan sektor pariwisatanya, jika saja nantinya surat edaran tersebut
berhenti diberlakukan tentunya bisa menghindari efek domino yang bakal terjadi .
Penghematan akan terasa manfaatnya disaat dia menghidupkan, bukan begitu Pak
Menteri ?
Taufan Rahmadi,
Pemerhati Pariwisata dan Ketua BPPD NTB
Di Indonesia, apalagi di Jakarta, hampir setiap minggu ada pameran. Ternyata, pameran merupakan salah satu unsur MICE yang bisa mendatangkan banyak devisa loh.
BalasHapus